HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Apakah hukum perdata itu ?
Menurut
Subekti, : “ Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat
materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan “. (Subekti, 1980, hlm. 9).
Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan, “ Hukum Perdata adalah hukum yang
mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan
warga negara perseorangan yang lain “. (Sofwan, 1975, hlm. 1)
Wirjono
Prodjodikoro mengatakan, “ Hukum Perdata adalah suatu rangkaian hukum
antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan
kewajiban “. (Prodjodikoro, 1975, hlm. 7 – 11).
Dari
definisi-definisi tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa yang
dimaksudkan dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang
lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan (pribadi/badan hukum). Hukum perdatalah yang mengatur dan
menentukan, agar dalam pergaulan masyarakat orang dapat saling
mengetahui dan menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban antar
sesamanya, sehingga kepentingan tiap-tiap orang dapat terjamin dan
terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Hukum Perdata Dalam Arti Sempit
Hukum
perdata arti luas ialah bahwa hukum sebagaimana tertera dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK)
beserta sejumlah undang-undang yang disebut undang-undang yang disebut
undang-undang tambahan lainnya. Undang-undang mengenai Koperasi,
undang-undang nama perniagaan.
Hukum Perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).\
Hukum
perdata dalam arti luas meliputi semua hukum “Privat materiil”, yaitu
segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Hukum perdata
ada kalanya dipakai dalam arti sempit, sebagai lawan “hukum dagang”.
(Subekti, 1978, hlm. 9).
Dengan
perkataan lain, hukum perdata dalam arti luas ialah meliputi semua
peraturan-peraturan hukum perdata baik yang tercantum dalam KUH
Perdata/BW maupun dalam KUHD dan undang-undang lainnya. Hukum perdata
(sebagaimana tertera dalam KUH Perdata/BW) mempunyai hubungan yang erat
dengan hukum hubungan dagang (KUHD). Hal itu tampak jelas dari isi
ketentuan Pasal 1 KUHD. Mengenai hubungan kedua hukum tersebut dikenal
adanya adagium lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus :
KUHD mengesampingkan hukum yang umum : KUH Perdata).
Jelas
dari isi ketentuan Pasal 1 KUHD. Mengenai hubungan kedua hukum tersebut
dikenal adanya adagium lex specialis derogat legi generali (hukum yang
khusus : KUHD mengesampingkan hukum yang umum : KUH Perdata).
Hukum Perdata Material dan Hukum Perdata Format
Hukum perdata dilihat dari segi fungsinya dibedakan menjadi dua :
§
Hukum Perdata material ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak
dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa
hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap
subjek hukum.
§
Hukum perdata formal menentukan tata cara menurut mana pemenuhan
hak-hak material tersebut dapat dijamin. Dengan kata lain, bahwa hukum
perdata formal mengatur bagaimana tata cara seseorang menuntut haknya
apabila dirugikan oleh orang lain. Hukum perdata formal mempertahankan
hukum perdata material, karena hukum perdata formal berfungsi menerapkan
hukum perdata material apabila ada yang melanggarnya. Hukum perdata
formal sering juga disebut hukum acara perdata.
Hukum Perdata di Indonesia
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek
(atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia
Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri
disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
- Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
- Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
- Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
- Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika
yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan
masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Contoh Kasus hukum Perdata tentang Perceraian
( Kekerasan Dalam rumah Tangga)
Perkara Cerai Susan Karena Kekerasan Rumah Tangga
Contoh kasus dari seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama ( PA ), adapaun data/identitasnya adalah sebagai berikut :
Nama : Maudi
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun
Cerita Permasalahan / Kronologis
Maudi menikah di Jakarta dengan suaminya 5 tahun yang lalu (th 2007). Dikaruniai 1 orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Maudi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah pengangguran yang tidak jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Maudi, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Maudi sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedimikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Maudi merasa terncam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2010, Maudi dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Maudi memutuskan untuk bercerai saja.
Proses Cerai
Menentukan Pengadilan Mana yang Berwenang
Maudi langsung ancang-ancang mempersiapkan perceraiannya. Dalam hal ini Maudi tidak boleh salah menentukan pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara cerainya. Karena bila salah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan yang tidak berwenang maka gugatannya tersebut dapat ditolak oleh hakim. Dalam Undang-undang diatur bila yang mengajukan gugatan cerai si istri (beragama Islam) maka Pengadilan Agama yang berwenangnya adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal terakhir si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Contoh kasus dari seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama ( PA ), adapaun data/identitasnya adalah sebagai berikut :
Nama : Maudi
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun
Cerita Permasalahan / Kronologis
Maudi menikah di Jakarta dengan suaminya 5 tahun yang lalu (th 2007). Dikaruniai 1 orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Maudi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah pengangguran yang tidak jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Maudi, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Maudi sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedimikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Maudi merasa terncam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2010, Maudi dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Maudi memutuskan untuk bercerai saja.
Proses Cerai
Menentukan Pengadilan Mana yang Berwenang
Maudi langsung ancang-ancang mempersiapkan perceraiannya. Dalam hal ini Maudi tidak boleh salah menentukan pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara cerainya. Karena bila salah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan yang tidak berwenang maka gugatannya tersebut dapat ditolak oleh hakim. Dalam Undang-undang diatur bila yang mengajukan gugatan cerai si istri (beragama Islam) maka Pengadilan Agama yang berwenangnya adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal terakhir si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Bila
yang mengajukan gugatan cerai si suami (beragama Islam) maka Pengadilan
Agama adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah
tempat tinggal si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Di Jakarta ada 5 Pengadilan Agama (PA), untuk menentukan secara tepat PA mana yang berwenang memproses perkara cerainya Maudi. Maka susan harus mengetahui persis alamat tempat tinggalnya yang saat ini ia tinggali, yakni alama tepatnya di bilangan Tebet ( Jakarta Selatan ). Jadi pengadilan yang tepat mengadili perkara cerai Maudi adalah PA Jakarta Selatan. Maudi mencari alamat PA Jakarta Selatan, yaitu di Jl. Rambutan VII, No. 48, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Saran utk persiapan proses cerai :
• Menentukan dengan benar pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara cerainya;
• Survey langsung ke pengadilan tersebut;
• Mencari informas di pengadilan berwenang tersebut utk mendapatkan informasi proses cerai sebanyak-banyaknya (seperti: apa syarat-syarat mengajukan gugatan cerai, bagaimana menyusun gugatan, berapa biaya daftar gugatan dll).
Perlukah jasa pengacara?
Dari hasil informasinya itu, Maudi menentukan untuk tidak menggunakan jasa seorang pengacara, karena :
• Maudi punya banyak waktu untuk menghadiri sidang perceraiannya; dan
• Maudi tidak punya banyak uang untuk menyewa seorang pengacara yang mungkin bisa mengeruk biaya sekitar Rp 5jt – 10jt lebih.
• Umumnya penggunaan jasa pengacara digunakan pada orang yang waktunya sempit (sibuk bekerja) dan adanya hak dan kewajiban yang mungkin sulit dipertahankan dalam proses perceraiannya.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Di Jakarta ada 5 Pengadilan Agama (PA), untuk menentukan secara tepat PA mana yang berwenang memproses perkara cerainya Maudi. Maka susan harus mengetahui persis alamat tempat tinggalnya yang saat ini ia tinggali, yakni alama tepatnya di bilangan Tebet ( Jakarta Selatan ). Jadi pengadilan yang tepat mengadili perkara cerai Maudi adalah PA Jakarta Selatan. Maudi mencari alamat PA Jakarta Selatan, yaitu di Jl. Rambutan VII, No. 48, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Saran utk persiapan proses cerai :
• Menentukan dengan benar pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara cerainya;
• Survey langsung ke pengadilan tersebut;
• Mencari informas di pengadilan berwenang tersebut utk mendapatkan informasi proses cerai sebanyak-banyaknya (seperti: apa syarat-syarat mengajukan gugatan cerai, bagaimana menyusun gugatan, berapa biaya daftar gugatan dll).
Perlukah jasa pengacara?
Dari hasil informasinya itu, Maudi menentukan untuk tidak menggunakan jasa seorang pengacara, karena :
• Maudi punya banyak waktu untuk menghadiri sidang perceraiannya; dan
• Maudi tidak punya banyak uang untuk menyewa seorang pengacara yang mungkin bisa mengeruk biaya sekitar Rp 5jt – 10jt lebih.
• Umumnya penggunaan jasa pengacara digunakan pada orang yang waktunya sempit (sibuk bekerja) dan adanya hak dan kewajiban yang mungkin sulit dipertahankan dalam proses perceraiannya.
Sumber:
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2263433-pengertian-hukum-perdata/#ixzz1oL07lcND
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia#Hukum_perdata_Indonesia
http://zaharast91.blogspot.com/2011/02/contoh-kasus-hukum-perdata-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar