BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip
universal dalam negara demokratis. Negara atau
pemerintah menciptakan kondisi yang baik dalam memgeluarang dijamin oleh
Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya.
Kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat
adalah prinsip universal di dalam negera demokratis. Dalam perkembangannya,
prinsip ini mengilhami perkembangan demokrasi di negara-negara yang berkembang.
Bahwa pentingnya menciptakan kondisi baik secara langsung maupun melalui
kebijakan politik pemerintah/negara yang menjamin hak publik atas kebebasan
berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu baromoter penegakan
demokrasi dalam masyarakat suatu bangsa.
Prinsip ini antara lain; diatur dalam Konvensi Internasional
Hak Sipil Politiknyang mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berkespresi.
Dalam prakteknya, artikel ini mengatur tentang ‘Kebebasan Fundamental’ yang
sifatnya inter-relasi dengan prinsip-prinsip dasar lainnya seperti kebebasan
untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal sesuai dengan
pilihannya, kebebasan untuk berpikir dan kesadaran memilih agama dan aliran
kepercayaan kebebasan membentuk organisasi atau perkumpulan secara damai dan
kebebabsan untuk berasosiasi.
Di Timor Lorosae, prinsip-prinsip tersebut diatas
telah ditandatangani atau diratifikasi oleh Pemerintah Republik Demokratic de
Timor-Leste (RDTL) pada tanggal 10 Desember 2001 lalu. Untuk memastikan,
menjamin dan memberikan maka pemerintah harus: (a) Perlindungan terhadap semua
pendapat/opini tanpa batas. Prinsip ini adalah salah satu hak azasi yang mana
pemerintah tidak dapat membatasi atau melarangnya. Pendapat/opini tersebut
bersifat lisan atau tertulis dengan tidak membatasi hak azasi orang lain yang
sama. (b) Memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan dasar untuk
berekspresi yang tidak saja mencakup hak untuk memberikan informasi dan ide-ide
dalam berbagai jenis. Tetapi juga menyangkut hak atas kebebasan untuk mencari
dan menerima (right to seek and reseive) secara langsung atau pun melalui suatu
media tertentu. (c) Menekankan secara jelas bahwa dalam menikmati hak
berekspresi dan mengeluarkan pendapat harus secara bersamaan pada tempat dan
waktunya diikuti dengan suatu tugas dan tanggungjawab yang penuh.
I.2 TUJUAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk
sedikit memberikan penjabaran mengenai kebebasan berpendapat yg di kemukakan
oleh pakar-pakar, LSM, media masa dan demo dari sudut pandang penulis dan
beberapa nara sumber.
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1 ISI
1.
Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berkeyakinan
Kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat sebagai salah satu bagian dari demokrasi di era reformasi ini bukannya
tanpa batas, ia dibatasi selain oleh hak asasi orang lain juga oleh
undang-undang. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adail sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kebebebasan dasar untuk berekspresi dan mengeluarkan
pendapat tidak dapat didefinisikan atau ditafsirkan oleh seseorang yang dapat
menghilangkan atau mengaburkan makna dari semangat pelaksanaannya. Artinya;
kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang mengandung unsur-unsur
kekerasan adalah pelanggaran terhadap prinsip itu sendiri. Misalnya; kebebasan
berekspresi dan mengeluarkan pendapat melalui aksi membakar rumah, gedung,
pusat pembelanjaan, penjarahan, mengancam dengan senjata tajam dan lainnya.
Dari aspek hak azasi, tindakan-tindakan seperti
tersebut tergolong tindakan yang melangar hak atas kebebasan dari orang lain.
Karena, disamping menganggu ketertiban umum juga membatasi hak atas keamanan
orang lain dalam masyarakat. Sedangkan dari aspek hukum, merupakan
tindak-pidana yang dapat dituntut pertanggungjawabannya lewat pengadilan.
Untuk memastikan penikmatan hak untuk berekspresi
dan mengeluarkan pendapat secara adil, maka setiap warga-negara harus juga
diikat dengan kewajiban azasi yakni; konsekwensi dibatasi oleh keinginan yang
berhubungan dengan kepentingan orang lain. Karena hak berekspresi dan
berpendapat seseorang dibatasi oleh hak orang lain dalam masyarakat sosial.
Untuk itu, negara/pemerintah mengatur pembatasan-pembatasan dalam melakukan
ekspresi dan mengeluarkan pendapat yang bertujuan untuk melindungi hak-hak
tersebut dan reputasi dari hak-hak tersebut satu sama lain, demi keamanan
nasional, ketertiban umum (public order), kesehatan masyarakat dan moralitas
masyarakat dalam suatu negara.
Kita telah cukup banyak membahas mengenai
Kebebasan Berpendapat. Saya kira sudah cukup untuk membahasnya di tulisan ini.
Yang patut diberi suatu penjelasan lanjutan adalah Kenyataan dalam tataran kehidupan yang menganut Kebebasan
Berpendapat akhirnya mau tidak mau juga harus menganut Kebebasan Berkeyakinan.
Sekali lagi berkeyakinan bukan berperilaku. Kebebasan Berkeyakinan bukan
Kebebasan Berperilaku.
Kebebasan Berkeyakinan mengandung arti yang
hampir sama dengan Kebebasan Berpendapat. Saya memiliki keyakinan tertentu,
Orang lain pun memiliki keyakinan. Keyakinan saya bisa sama dengan keyakinan
yang bukan-saya, namun lebih sering keyakinan saya berlainan bahkan mungkin
bersebrangan dengan yang bukan-saya. Sebagaimana saya harus menghormati
Pendapat yang bukan-saya, saya dengan Menganut Kebebasan Berkeyakinan, juga
harus menghormati keyakinan yang bukan-saya.
Kebebasan Berkeyakinan yang memiliki “porsi
psikologis” yang lebih besar dibandingkan dengan Kebebasan Berpendapat. Dengan
demikian jika Kebebasan Berpendapat atau Beride atau Beropini ini, berbenturan
dengan esensi dari Kebebasan Berkeyakinan, maka sudah sepatutnya Kebebasan
Berkeyakinan ini dijunjung lebih tinggi.
Maksudnya disini adalah kita boleh saja
menghakimi, tidak menyetujui, atau mengatakan bahwa keyakinan yang bukan-kita
salah dan tidak benar, namun kebebasan mengatakan pendapat ini hanya dalam
ruang lingkup kita sendiri bukan ruang lingkup yang bukan-kita. Alasannya
adalah Kebebasan Berkeyakinan menuntut kita tidak bebas untuk mengatakan
ketidaksetujuan atas keyakinan mereka (jangan dipermasalahkan kontardiksi dalam
kata atau contraditio in terminis ya, karena esensinya bukan itu, baca
penjelasan awal mengenai hal ini di paragraf-paragraf sebelumnya). Anda boleh
saya mengatakan kepada diri anda sendiri keyakinan anda paling benar dan paling
bagus dan menganggap keyakinan yang bukan-anda salah dan semu, tapi itu hanya
berlaku pada diri anda sendiri.
Adalah salah secara moral, jika anda kemudian
menghujat, menghakimi, menuduh, dan menindas keyakinan yang bukan-anda, yang
berbeda dengan anda. Atau bisa juga anda boleh mengatakan kelemahan, kesalahan,
dan keburukan keyakinan yang bukan-anda, tetapi anda juga harus menerima jika
yang bukan-anda mengatakan kelemahan, kesalahan dan keburukan keyakinan anda.
Namun saya tidak menyarankan hal yang demikian. Alasannya secara psikologis
manusia, hal tersebut akan membuat “suasana hati” kedua belah pihak menjadi “memanas
“ atau “meruncing”. Yang berbeda dalam keyakinan tidak mungkin bisa
dikompromikan. Yang terjadi adalah benturan dan kekacauan. Kecuali jika kita
memang sudah terbuka dan terbiasa dengan kritik
dan argumen, dengan demikian “secara psikologis”, benturan dan kekacauan bisa
diminimalisir.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat umumnya dapat
kita lihat dari kebebasan seseorang atau kelompok menulis atau berbicara di
media massa dan mengikuti pemilu yang bebas. Sementara dalam Undang-undang No.9
tahun 1998 bentuk-bentuknya adalah melalui kegiatan berdemontrasi, pawai,mimbar
bebas,dan rapat umum.
1. Kebebasan seseorang untuk menulis atau
mengemukakan pendapat atau opini di media massa (kebebasan pers) merupakan
salah satu bentuk kemerdekaan mengemukakan pendapat. Di sana seseorang atau
kelompok bebas mengemukakan pendapatnya tentang apa saja yang dialami atau
diamatinya. Tentu disertai dengan alasan-alasan pembenarannya. Sebaliknya di
sana pula seseorang atau kelompok bebas menolak atau membantah pendapat seseorang
atau kelompok lainya. Tentu juga disertai dengan alasannya. Sebagai contoh kita
bisa mengemukakan kritik kita atas kebijakan pengurus OSIS yang dirasa kurang
baik. Kritik tersebut kita wujudkan dengan bentuk sebuah tulisan di majalah
dinding. Di dalam tulisan tersebut, kita bisa mengemukakan berbagai alasan
mengapa kita menganggap kebijakan itu kurang baik. Atas kritik tersebut ,
Pengurus OSIS dapat membuat penjelasannya juga melalui majalah dinding . Di
dalam penjelasan tersebut pengurus dapat mengemukakan alasan dibuatnya
kebijakan tersebut atau berusaha meyakinkan kita bahwa kebijakan itu baik. Di
Indonesia, kebebasan mengeluarkan pendapat melalui media diatur dalam
undang-undang No.40 tahun 1999 tentang kebebasan Pers. Di bagian penjelasan
undang-undang ini, disebutkan bahwa pembentukan undang-undang ini adalah
jaminan agar pers berfungsi secara maksimal. Fungsinya sebagai mesia ekspresi
kebebasan mengeluarkan pendapat sebagaimana tertera dalam UUD 1945 pasal
28,sekaligus media kontrol social. Wujud dari kemerdekaan pers ini, antara lain
bahwa pers tidak dikenai penyensoran,pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Sementara untuk menjamin hak setiap warga Negara , pers memberikan hak
jawab,hak tolak dan hak koreksi dan hak koreksi yang luas pada semua warga
Negara. a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya Artinya, kita bisa melakikan sanggahan atau tanggapan
berita tentang diri kita di sebuah media massa yang dianggap tidak benar. Sama
seperti yang dilakukan pengurus OSIS dalam kasus contoh diatas. b. Hak koreksi
adalah hak setiap orang untuk mengkoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers,maupun tentang dirinya ataupun orang lain. c. Hak
tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkap nama dan
atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan.
2. Pemilihan umum (pemilu)merupakan salah satu
wujud asas demokrasi dalam bernegara. Dalam pemilu,warga memberikan
pendapatnyua untuk memilih para wakil rakyat dan penguasa yang dipercayainya.
Kepada para wakil rakyat dan penguasa ini, warga Negara memberikan mandat untuk
membuat kebijakan-kebijakan yang terbaik bagi kepentingan mereka. Oleh karena
itu, sangat penting bahwa semua pemilu harus berjalan bebas dan bersih. Dengan
car ini, para pemimpin yang dihasilkan nantinya merupakan cara pemimpin yang
didukung oleh rakyat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang diambilnya pun
akan diterima dan didukung oleh rakyat. Di Indonesia,pemilu yang bebas diatur
dalam undang-undang No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum.
3. Berdemontrasi juga merupakan bentuk
kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Melalui kegiatan ini, seseorang atau
kelompok berusaha mengeluarkan pikirannya dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
di muka umum. Di muka umum, dalam hal ini adalah dihadapan orang banyak atau
orang lain termasuk juga ditempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap
orang. Sebagai contoh, demontrasi mahasiswa di gedung MPR pada tahun 1997,
demontrasi buruh yang menolak revisi UU tenaga kerja, demontrasi warga Jakarta
di Komnas HAM, demontrasi mendukung pemilu yang bersih dan demo mahasiswa dan
pelajar buleleng terhadap penetapan UU pornografi di kantor bupati tahun 2009.
Dalam demontrasi-demontrasi tersebut, kelompok masyarakat itu melakukan orasi
(pidato), menuliskan pernyataan atau kritik-kritik sebagai bentuk ekspresi
pendapat mereka kebutuhan dan situasi yang mereka hadapi. Sebagai contoh,
demontrasi mahasiswa dan masyarakat yang menuntut Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya, menentang kebijakan pemerintah tentang kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM). Di Indonesia , kemerdekaan mengemukaan pendapat melalui demontrasi ini
diatur dalam Undang-Undang no 9 tahun 1998 tantang kemerdekaan mengemukaan
pendapat di muka umum.
4. Kemerdekaan mengemukaan pendapat juga dapat du
wujudkan dalam bentuk pawai. Dalam kegiatan ini, kelompok masyarakat berusaha
menyampaikan pendapatnya dengan melakukan arak-arakan di jalan umum. Contoh
pawai untuk mendukung atau menentang UU anti fornografi ataupun pawai yang
dilakukan masyarakat untuk mendukung pemerintah yang bersih dari korupsi.
5. Kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga dapat
dilakuakn dalam bentuk mimbar bebas. Dalam kesempatan ini, seseorang atau
kelompok secara bebas dan terbuka juga berusaha menyampaikan pendapat di muka
umum. Umumnya, kegiatan ini dilakukan tidak menggunakan tema tertentu. Artinya
para peserta bebas mengemukaan pendapat mereka tentang apa saja yang dilihat,
dirasakan atau dialamai.Mimbar bebas biasanya dilakuakan oleh beberapa eleman
masayarakat seperti mahasiswa. Biasanya, mereka mengadakan aksi drama singkat
(teatrikal) sebagai symbol yang menyiratkan pesan tertentu terhadap suatu isu
yang tengah berkembang. Contohnya, ketika pemerintah ingin manaikan harga BBM,
sejumlah mahasiswa menyampaikan ketidaksetujuan mereka melalui aksi teater
dengan menggunakan symbol-simbol.
6. Kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga
ditandai dengan adanya kebebasan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk
mengadakan rapat umum. Dalam kesempatan ini, kelompok masyarakat berusaha
mengekspresikan pendapatnya terhadap suatu tema (masalah) tertentu melalui
sebuah pertemuan terbuka. Contonya rapat umum karang teruna-teruni desa
bungkulan, rapat dewan guru SMP N 2 Sawan, Rapat Osis dan sebagainya.
UUD YANG MEMBAHAS KEBEBASAN
BERPENDAPAT
Pasal 28 F
UUD 1945
Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pasal 14 UU
No. 39 tahun 1999
(1) Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan
untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap
orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Sebagai
negara pihak dari Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi melalui UU No. 12/2005, Indonesia terikat pada standar hak asasi
manusia yang berlaku secara universal dalam melakukan pembatasan atas
penikmatan hak, khususnya terkait dengan hak kebebasan berekspresi dan
menyatakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Komentar Umum No. 10 Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diadopsi PBB sejak tahun 1983
dan lebih lanjut diatur melalui Prinsip-prinsip Siracusa yang diadopsi pada
tahun 1984.
Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa “setiap orang akan berhak mempunyai
dan menyatakan pendapat tanpa diganggu, termasuk kebebasan mencari, menerima
dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas,
baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui
sarana lain menurut pilihannya sendiri
2. Kebebasan Manusia
Kebebasan Manusia lebih
ditentukan pada alasan-alasan praktis atau praksis serta psikologis diri,
maupun psikologis sosial. Interaksi-interaksi antara bermacam aspek dalam
kehidupan manusia, yang menghasilkan suatu keputusan untuk memberlakukan suatu
budaya Kebebasan Berpendapat maupun Kebebasan Berkeyakinan, pada dasarnya bukan
tertuju pada logis tidaknya argumen Kebebasan Berpendapat atau Berkeyakinan
tersebut. Alasan utama dari kehendak untuk menganut jiwa Kebebasan adalah dari
dalam “moralitas” diri manusia.
Kebebasan hadir dari dan atas Nama Manusia.
Manusia ingin Beraktualisasi, Manusia ingin Berekspresi. Ketika Keinginan itu
ditentang atau dipenjara, maka Gejolak Psikologis untuk tidak menyetujui atau
bahkan menentang sikap Pemenjaraan atas Kebebasan Beraktualisasi, Berekspresi,
Berkeyakinan ataupun yang lainnya, akan terus digulirkan.
Perbudakan Badaniah atau Fisikal telah berhasil
dihapuskan di hampir seluruh dunia manusia (setidaknya dalam hukum
positif kemasyarakatan). Kini saatnya Perbudakan Hati dan Pikiran juga ikut
dihapuskan.
Paradoks Kebebasan Berekspresi
Ada sejenis paradok atau
mungkin sebuah argumen yang melingkar dari suatu proposisi yang menyatakan
mengenai kebebesan berekspresi atau kebebasan berpendapat. Kebebasan
berpendapat mengingat berpendapat itu meliputi seluruh jenis pendapat, maka
kebebasan untuk berpendapat bahwa “kebebasan berpendapat tuh harus dihapuskan
atau dibungkam” juga termasuk dalam sebuah pendapat itu sendiri (yang
berkontradiksi dengan esensi kebebasan berpendapat).
Disini lah letaknya sebuah proposisi contradictif
interminis. Saya pernah membahas mengenai proposisi yang kontradiktif ini lewat
tulisan di sini.
Silahkan buka dan baca apa itu proposisi yang kontradiktif
Paradoks ini juga berlaku dalam banyak bidang
“filosofis”, seperti filsafat positivisme logis dengan prinsip verifikasinya.
Prinsip verifikasi yang mengatakan bahwa proposisi atau pernyataan itu bermakna
jika ia bisa diverifikasi secara sintesis ataupun secara analisis. Prinsip
verifikasi sendiri secara paradoks tidak bisa diverifikasi. Sehingga menurut
sebagian orang, positivisme logis telah gugur secara filosofis. Padahal kalau
menurut saya, hampir seluruh pemahaman logis filsafat pasti mengandung paradoks
atau kontradiktif.
Menurut pendapat pribadi saya, Kebebasan
berpendapat kalau dibawa kewilayah penyelidikan logis khas filsafat pada
akhirnya akan menemukan sebuah celah atau lubang kesalahan yang berupa paradoks,
tetapi hal ini tidaklah begitu menggugurkan esensi dari kebebasan berpendapat
itu sendiri. Kebebasan berpendapat adalah masuk dalam wilayah praksis kehidupan
manusia. Sehingga sebuah celah yang sedemikian kecil bisa diabaikan.
Kehidupan praksis atau praktikal sehari-hari yang
berelasi dengan kehidupan sosial dan sejenisnya merupakan wilayah hukum positif
bukan wilayah perdebatan filsafat. “Kebenaran” kebebasan berpendapat tidak lagi
menjadi urusan “logika” tetapi menjadi wilayah “praksis”. “Kebenaran” atau
lebih baik dilabeli “Bekerjanya Kebebasan Berpendapat” merupakan urusan
statistikal dan moralitas.
Logika yang bekerja menjadi logika praksis bukan
logika analisis filsafat logis. Keberpihakan saya pada “Kebebasan Berpendapat”
dibanding “Pembungkaman Ide atau Pikiran atau Pendapat” beranjak dari dalam
moralitas saya sendiri. Saya pengen dihargai dalam berpendapat sehingga saya
membutuhkan adanya sejenis Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat. Saya
berfikir banyak orang yang menginginkan hal ini. Inilah yang menjadi postulat
pokok atau dasar pokok dan esensi dari “Kebebasan Berpendapat itu sendiri”.
Jiwa egaliter juga mengalir di dalamnya.
Sebenarnya Paradoks Pembukaman Ide atau Penolakan
Kebebasan Berpendapat jauh lebih banyak secara filosofis dibandingkan dengan
Kebebasan Berpendapat. Pembumkaman Ide menghendaki secara logis bahwa segalanya
harus dibungkam termasuk Ide atau Pendapat “Pembumkaman Ide” itu sendiri.
Contradisi in terminisnya jauh lebih dalam dibanding contradiksi yang ada dalam
Kebebasan Berpendapat. Pembumkaman Ide jika dilakukan maka Ide Pembumkaman Ide
itu sendiri seharusnya tidak pernah Lahir. Segalanya harus dinihilkan! Jika ada
pembatasan atas hak seseorang yang dipilih mana yang berhak dan mana yang tidak
untuk berbicara, maka hal ini akan menimbulkan kontradiksi logis yang lebih
banyak. Paling jelas muncul dari pertanyaan berikut: Kenapa anda boleh
berpendapat sedangkan saya tidak? Kenapa dia boleh sedangkan saya tidak?
Prinsip Pembungkaman Anda telah anda negasikan atau hapuskan pendapat anda
Sendiri bukan? Jelas-jelas ini bertentangan dengan prinsip anda sendiri? Anda
tidak layak berbicara jika anda menganut prinsip ini bukan? Dan sebagainya.
Secara moralitas diri, saya merasa, setiap orang
ingin berpendapat, karena ia memiliki mulut, hati dan otak. Moralitas bahwa
dirinya harus diam berarti menganggap bahwa orang lain juga harus diam dengan
demikian tidak ada yang berpendapat. Ini mustahil bukan?
Bagaimana dengan Pembatasan Ide? Secara filosofis
Pembatasan Ide atau Pendapat semakin membingungkan dan mengandung kontradiksi
dimana-mana. Siapa yang berhak membatasi Ide? Siapa yang berhak berbicara dan
yang tidak? Darimana kriterianya? Siapa yang menentukan kriteria? Jika saya
merasa bahwa saya berhak untuk membatasi Ide orang lain, maka seharusnya orang
lain berhak membatasi Ide saya. Nah hal ini semakin berkontradiktif. Apalagi
kalau diterapkan dalam tataran praksis. Pembatasan Ide, jika itu dijalankan,
akan lebih mengarah kepada Pembungkaman Ide atau Pendapat.
Becoming Liberal
Setiap orang berhak memiliki
pendapat atau opini. Sekali lagi saya tegaskan: Berhak memiliki opini. Opini
tidak berarti berperilaku. Moralitas yang menjadi turunan dari Keberpihakan
atau Kebebasan Beropini atau Berpendapat mengandung arti bahwa Jika saya
memiliki Kebebasan Berpendapat maka Orang lain pun Memilikinya. Dengan demikian
wajib bagi saya untuk menghormati pendapat orang lain seberapapun buruk atau
tidak setujunya saya.
Berdiskusi, berdebat, dan bertukar pikiran
merupakan turunan lanjutan dari Moralitas Kebebasan Berpendapat. Hanya saja,
seperti yang pernah saya tuliskan di tulisan saya mengenai Menjadi Liberal dahulu,
ketika saya menemukan bahwa pendapat atau opini yang bersebrangan dengan yang
bukan-saya, pada waktu berdiskusi, bedebat atau bertukar pikiran (bukan dalam
bentuk fisikal atau kekerasan) sudah tidak menemukan jalan keluar, atau lebih
sering secara nyata terlontar ide atau argumen yang sama yang diulang-ulang,
maka inilah waktunya untuk mengatakan saya dan yang bukan-saya adalah “Berbeda
dalam Berpendapat”. Dengan menjadi liberal saya harus siap mengakui bahwa yang
bukan-saya memiliki perbedaan opini atau pendapat, dan yang bukan-saya berhak
memegang dan miliki pendapatnya sendiri.
Ada sebuah kejadian sederhana, yang menurut saya
unik, yang membuat saya sering tergeli-geli. Seorang yang ingin beragama “yang
dianggapnya atau diyakininya” lebih dalam, ia memutuskan untuk menggunakan
“kata-kata atau kalimat-kalimat, atau pakaian” yang identik dengan budaya atau
bahasa “dimana agama itu berasal secara geografis”. Contoh paling jelas saya
sebut saja penggunaan kata: Afwan (dalam sms disingkat Af1), Ukhti, Akhwat,
Ikhwan, dan sebagainya. Kalau busana: ya yang bejubah lebar, mengangkat kain
celana diatas lutut dan sebangainya.
Dengan menganut atau setidaknya berusaha untuk
menghargai mereka, saya sekarang berusaha untuk“tidak pernah” untuk menyarankan
mereka mengganti bahasa atau pakaian mereka, atau mengometari perilaku mereka
secara langsung. Mereka punya pendapat dan keyakinan yang berbeda. Karena saya
juga memiliki pendapat sendiri dan keyakinan sendiri, maka ketika saya membalas
sms atau pendapat mereka, saya juga akan menggunakan kata-kata saya sendiri
yang berbeda dengan cara mereka. Saya juga mengenakan pakaian yang berbeda
dengan mereka. Saya disini berarti telah “menghormati” pendapat mereka.
Sayangnya, penghormatan saya yang demikian,
sering kali (terutama jika mereka memiliki power atau kekuasaan), malah
mendapat respon yang berkebalikan. Saya disuruh tidak hanya “menghormati
mereka” tetapi disuruh “menyamai dan berperilaku” seperti mereka. Sungguh
menggelikan sebenarnya. Namun, setelah saya jelaskan biasanya mereka akan mengerti
posisi saya. Empati memang perlu dipersuasikan dan disebarkan, termasuk hal-hal
yang sepertinya sudah umum dan wajar dimata kita, tetapi menjadi hal yang
kurang baik dan jelek dimata mereka. Ah, semoga mereka tidak banyak yang
demikian.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Kebebasan
mengeluarkan pendapat di muka umum sangat penting sekali di dalam Negara
Indonesia karena Negara Indonesia menganut system demokrasi. Dengan adanya
kebebasan tetapi kita semua sebagai warga Negara yang baik harus menaati aturan
- aturan moral secara umum dan menaati hukum, menjaga
keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperhatikan tata cara dimana
unsur kekerasan tidak terdapat di dalamnya. Kebebasan berpendapat
di muka umum sering melenceng dari aturan yang sebenarnya, dimana
kehendak dari masing-masing individu
dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan lagi
batasan-batasan yang ada. Maka dari itu kita harus mengetahui sampai mana
kita bebas mengeluarkan pendapat sesuai dengan Undang-Undang 1945.
III.2 SARAN
III.2 SARAN
Dengan adanya kebebasan berpendapat kita sebagai warga Negara yang baik harus menaati norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada di Negara Indonesia, selain itu kita harus sama – sama saling menghormati apabila ada perbedaan pendapat diantara masyarakat. Dengan begitu tidak ada lagi kekerasan yang karena perbedaan pendapat.
III.2 REFERENSI
Terimakasih admin artikelnya, semoga bermanfaat untuk tugas kuliah saya
BalasHapus.
Hy sy sastra heriawan 1722500022 mhs https://www.atmaluhur.ac.id
.
Terimakasih
Terimakasih atas info ny
BalasHapusSaya dovana aditia 1722500027 mhs
Https://www.atmaluhur.ac.id
Terimakasih
Terimakasih kak ilmunya, info ini sangat bermanfaat sekali dan menambah wawasan saya
BalasHapusKenalin saya Yunita (1722500179)
Kunjungi website kampus kmi ya ( https://www.atmaluhur.ac.id )
Terimakasih min dengan adanya Kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum sangat lah penting. Dan semoga bisa membantu tugas kuliah saya..
BalasHapusOh yaa, perkenalkan nama saya nindia putri 1722500056, jangn lupa kunjungi website kampus saya di https://atmaluhur.ac.id
Hallo saya Bayu Destanto (1622500142) dari Stmik Atma Luhur Pangkalpinang . Dengan adanya kebebasan berpendapat di indonesia itu bisa mempermudah masyarakat untuk menyuarakan aspirasi yang ada dalam diri mereka . Jangan lupa kunjungi website kampus saya dengan klik link dibawah ini https://www.atmaluhur.ac.id
BalasHapusTerimakasih kak artikelnya sangat membantu dalam memahami tentang kebebasan berpendapat itu sendiri, perkenalkan nama saya Edo Herianto 1722500169 , kunjungi juga website kami https://www.atmaluhur.ac.id
BalasHapusTerimkasih atas infonya yg sangat menambah pengetahuan saya. Perkenalkan nma saya arivan fadjri (1722500122). Kunjungi juga website kami di https://www.atmaluhur.ac.id
BalasHapusterimakasih telah membahas artiken dengan kebebasan pendapat ini sangat bagus sekali terima kasih kak
BalasHapuskunjungi website kampus saya (https://www.atmaluhur.ac.id)
saya Wanto Saputra 1722500143
artikel bermanfaat ,saya ardi susilo, kunjungi website saya di https://www.atmaluhur.ac.id/
BalasHapus