ISTILAH PRIBUMI DAN NON PRIBUMI
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan
mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim
yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah
pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit.
Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia
secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda
akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang
mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan
sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir,
dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa
Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat,
maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan
beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia
berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa
yang kuat dibutuhkan semua elemen atau golongan.
Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang
ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat,
separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi. Setelah pemerintahan Bung Karno
direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan
tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali
“terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank
Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan
golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar
biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan
terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang
kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan
oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima
ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan
asing dan segelintir penghianat bangsa. Inilah mengapa, diera orde baru,
konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai
pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan
namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998.
Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi”
yang kena getahnya.
Siapakah Pribumi dan Non-pribumi :
Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat
yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau
penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi
berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat
negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di
Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang
asing.
Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan
non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang
berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk
Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih),
maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa
generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen
masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia
berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri
(melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika
penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka
penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai
pribumi.
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang
dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila
dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana.
Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih
khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan
orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki
ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak
milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas
masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar
dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli
yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai contoh, tersebutlah sepasang
suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina. Mereka berdua adalah warga asli kota
Bogor. Namun karena suatu alasan tertentu pindahlah mereka berdua ke kota Milan
di Italia. Di sana Ibu Yani melahirkan seorang anak bernama Joko. Joko tumbuh
dan besar di Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan seorang perempuan
keturunan Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan berkuliah di Milan,
bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka Intan, masih di kota
yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti membesarkan Intan di Milan,
hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk berkunjung ke kota asal orang
tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa Barat. Bersama putri mereka Intan
tibalah mereka di kota Bogor. Pertanyaannya adalah, apakah Intan pantas dan
layak disebut sebagai warga pribumi di sana? Sedangkan dia dan ayahnya
dilahirkan di Milan, Italia, dan mereka pun tidak memiliki sepetak tanah pun di
Bogor. Sudah barang tentu masyarakat di kota Bogor akan menganggap Joko dan
Intan sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka lahir, karena itu
sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang memiliki ‘wajah pribum
warganegara dalam
pasal 26 UUD 1945
SIAPA
YANG MENJADI WARGA NEGARA DALAM PASAL 26 UUD 1945
(1) Yang menjadi
warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk
ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal
mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar