Kitab Undang - undang Perdata

BAGIAN 1
Ketentuan-ketentuan Umum

570. Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
571. Hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu.
Di atas sebidang tanah, pemilik boleh mengusahakan segala tanaman dan mendirikan bangunan yang dikehendakinya, hal ini tidak mengurangi pengecualian-pengecualian tersebut dalam Bab 4 dan 6 buku ini.
Di bawah tanah itu ia boleh membangun dan menggali sesuka hatinya dan mengambil semua hasil yang diperoleh dari galian itu; hal ini tidak mengurangi perubahan-perubahan dalam perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara dan barang-barang semacam itu.
572. Setiap hak milik harus dianggap bebas.
Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas barang orang lain, harus membuktikan hak itu.
573. Pembagian suatu barang yang dimiliki lebih dari seorang, harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan.
574. Pemilik barang berhak menuntut siapa pun juga yang menguasai barang itu, supaya mengembalikannya dalam keadaan sebagaimana adanya.
575. Pemegang besit dengan itikad baik berhak menguasai segala hasil yang telah dinikmatinya dari barang yang dituntut kembali, sampai pada hari ia digugat di muka Hakim. Ia wajib mengembalikan kepada pemilik barang itu segala hasil yang dinikmatinya sejak ia digugat, setelah dikurangi segala biaya untuk memperolehnya, yaitu untuk penanaman, pembenihan dan pengolahan tanah.
Selanjuthya ia berhak menuntut kembali segala biaya yang telah harus dikeluarkan guna menyelamatkan dan demi kepentingan barang tersebut, demikian pula ia berhak menguasai barang yang diminta kembali itu selama ia belum mendapat penggantian biaya dan pengeluaran tersebut dalam pasal ini.
576. Dengan hak dan cara yang sama, pemegang besit dengan itikad baik, dalam menyerahkan kembali barang yang diminta, boleh menuntut kembali segala biaya untuk memperoleh hasil seperti diterangkan di atas, sekedar hasil itu belum terpisah dari tanah pada saat penyerahan kembali barang yang bersangkutan.
577. Sebaliknya ia tidak berhak menggugat kembali biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil yang dinikmati karena kedudukannya sebagai pemegang besit.
578. Demikian pula ia tidak berhak, dalam menyerahkan kembali barang itu, untuk memperhitungkan segala biaya dan pengeluaran yang telah dikeluarkan olehnya guna memelihara barang itu, yang dalam hal ini tidak termasuk biaya guna menyelamatkan dan memperbaiki keadaan barang itu sebagaimana disebut dalam Pasal 575.
Bila timbul perselisihan tentang apa yang harus dianggap sebagai biaya pemeliharaan, haruslah diikuti peraturan tentang hak pakai hasil perihal itu.
579. Pemegang besit beritikad buruk berkewajiban:
1. mengembalikan segala hasil suatu barang beserta barang itu sendiri, bahkan juga hasil yang kendati tidak dinikmatinya, sedianya dapat dinikmati oleh pemilik; tetapi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 575, boleh ia mengurangkan atau menuntut kembali biaya yang dikeluarkan guna menyelamatkan barang itu selama dalam kekuasaannya dan juga biaya demikian yang dikeluarkan guna memperoleh hasil itu, yakni untuk penanaman, pembenihan dan pengolahan tanah;
2. mengganti segala biaya, kerugian dan bunga;
3. membayar harga barang bila ia tidak dapat mengembalikan barang itu, juga manakala barang itu hilang di luar kesalahannya atau karena kebetulan, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa barang itu akan lenyap juga, sekalipun besit atas barang itu dipegang oleh pemiliknya.
580. Barangsiapa memperoleh besit dengan kekerasan, tidak boleh minta kembali biaya yang telah dikeluarkan, sekalipun pengeluaran itu mutlak perlu untuk menyelamatkan barang itu.
581. Pengeluaran untuk memanfaatkan dan untuk memperindah barang, menjadi tanggungan pemegang besit dengan itikad baik atau buruk tetapi ia berhak mengambil benda yang dilekatkan pada barang itu dalam memanfaatkan dan membuat indah, asal pengambilan itu tidak merusak barang tersebut.
582. Barangsiapa menuntut kembali barang yang telah dicuri atau telah hilang, tidak diwajibkan memberi penggantian uang yang telah dikeluarkan untuk pembelian kepada yang memegangnya, kecuali jika barang itu dibelinya di pekan tahunan atau pekan lain, di pelelangan umum atau dari seorang pedagang yang terkenal sebagai orang yang biasanya memperdagangkan barang sejenis itu.
583. Barang yang telah dibuang ke dalam laut dan timbul kembali dari laut dapat diminta kembali oleh pemiliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai hal itu.
BAGIAN 2
Cara Memperoleh Hak Milik

584. Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh salain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.
585. Barang bergerak yang bukan milik siapa pun, menjadi hak milik orang yang pertama-tama mengambil barang itu untuk dimilikinya.
586. Hak untuk mengambil binatang liar atau ikan semata-mata ada pada pemilik tanah tempat binatang itu atau air tempat ikan tersebut.
587. Hak milik atas harta karun ada pada orang yang menemukannya di tanah miliknya sendiri. Bila harta itu ditemukan di tanah milik orang lain, maka separuhnya adalah milik yang menemukan dan separuh lainnya adalah milik si peniilik tanah.
Yang dimaksud dengan harta karun adalah segala barang tersembunyi atau terpendam, yang tidak seorang pun dapat membuktikan hak milik terhadapnya dan yang didapat karena kebetulan semata-mata.
588. Segala apa yang melekat pada sesuatu barang, atau yang merupakan sebuah tubuh dengan barang itu, adalah milik orang yang menurut ketentuan-ketentuan tercantum dalam pasal-pasal berikut, dianggap sebagai pemiliknya.
589. Pulau besar dan pulau kecil, yang terdapat di sungai yang tidak dapat dilayari atau diseberangi dengan rakit, begitu pula beting yang timbul dari endapan lumpur di sungai seperti itu, menjadi milik si pemilik tanah di tepi sungai tempat tanah timbul itu terjadi. Bila tidak berada pada salah satu dari kedua belah sungai, maka pulau itu menjadi milik semua pemilik tanah di kedua tepi sungai dengan garis yang menurut perkiraan ada di tengah-tengah sungai sebagai batas.
590. Bila sebuah bengawan atau sungai dengan mengambil jalan aliran baru memotong tanah di tepinya sehingga terjadi sebuah pulau, maka hak milik atas pulau itu tetap pada pemilik tanah semula, sekalipun pulau itu terjadi dalam sebuah bengawan atau sungai yang dapat dilayari atau diseberangi dengan rakit.
591. Hak milik atas bengawan atau sungai mencakup juga hak milik atas tanah bengawan atau sungai itu mengalir.
592. Bila sebuah bengawan atau sungai mengambil jalan aliran baru dengan meninggalkan jalan yang lama, maka para pemilik tanah yang kehilangan tanah menjadi pemegang besit atas tanah aliran yang ditinggalkan sebagai ganti ruginya, masing-masing seluas tanah yang hilang.
593. Sebuah bengawan atau sungai yang banjir sementara, tidak menimbulkan diperolehnya atau hilangnya hak milik.
594. Hak milik atas tanah yang tenggelam karena kebanjiran, tetap berada pada pemiliknya.
Meskipun demikian, bila oleh pemerintah dipandang perlu untuk kepentingan umum atau keamanan tanah milik di sekitarnya, dan oleh ahli-ahli yang bersangkutan, maka semua pemilik yang bersangkutan harus diberi peringatan untuk mengerjakannya atau ikut serta mengerjakannya dengan ketentuan, bahwa bila mereka menolaknya atau tidak lagi berkediaman di tempat itu, maka untuk kepentingan negara, hak milik dapat dicabut dengan membayar ganti rugi seharga tanah yang menurut taksiran tenggelam.
595. Pemilik sebuah bukit pasir di pantai laut adalah, demi hukum, pemilik tanah tempat bukit itu berdiri.
Bila tanah di sekitar bukit pasir itu ditimbuni pasir oleh sebab angin, sehingga tanah itu menjadi satu dengan bukit itu, sampai-sampai tidak dapat dipisahkan, maka tanah tersebut menjadi milik si pemilik bukit pasir tersebut, kecuali bila dalam waktu lima tahun setelah penimbunan itu tanah tersebut dipisahkan dengan pagar atau tiang-tiang pembatas.
596. Pengendapan lumpur yang terjadi secara alami, lambat laun dan tidak kelihatan pada tanah yang terletak di tepi air yang mengalir, disebut pertambahan.
Pertambahan menjadi keuntungan pemilik tanah di tepi bengawan atau sungai, tanpa membedakan, apakah dalam akta tanah disebutkan luas tanah itu atau tidak; tetapi hai ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam undang-undang atau peraturan umum mengenai jalan bagi pejalan kaki atau jalan bagi pemburu.
597. Ketentuan dalam alinea kedua pasal yang lalu berlaku juga bagi pertambahan yang terjadi pada tanah di tepi telaga yang dapat dilayari dengan perahu.
Ketentuan yang sama dalam alinea kedua pasal yang lalu berlaku juga bagi pertambahan tanah akibat damparan dan laut di pantai dan ditepi sungai yang mengalami pasang naik dan pasang surut, baik tanah tepian itu milik negara, maupun milik perorangan atau persekutuan.
598. Pertambahan tanah tidak dapat terjadi pada balong/kolam ikan.
Tanah yang selalu terendam air di sekitar balong jika air mencapai ketinggian sampai dapat mengalir ke luar, sekalipun air itu kemudian surut kembali, adalah kepunyaan si pemilik balong.
Sebaliknya, pemilik balong tidak dapat hak atas tanah di tepi balong bila tanah itu hanya digenangi air pada waktu air mencapai ketinggian yang luar biasa.
599. Bila sebidang tanah, karena derasnya air, sekonyong-konyong terbelah dari tanah yang satu dan terlempar ke tanah yang lain, maka kejadian itu tidak dapat dianggap sebagai pertambahan tanah, asal saja pemiliknya, dalam waktu tiga tahun setelah kejadian itu berlangsung menuntut haknya. Bila tenggang waktu itu dilewatkan oleh yang berkepentingan tanpa mengajukan tuntutan, maka tanah yang terdampar itu menjadi milik si pemilik tanah yang bersangkutan.
600. Segala sesuatu yang ditanam atau disemaikan di atas sebidang pekarangan adalah milik si pemilik tanah itu.
601. Segala sesuatu yang dibangun di atas pekarangan adalah milik si pemilik tanah, asalkan bangunan itu melekat pada tanah; hal itu tidak mengurangi kemungkinan perubahan termaktub dalam Pasal 603 dan Pasal 604.
602. Pemilik tanah yang membangun di atas tanah sendiri dengan bahan-bahan bangunan yang bukan miliknya, wajib membayar harga bahan-bahan itu kepada pemilik bahan; ia boleh dihukum mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ada alasan untuk itu, tetapi pemilik bahan-bahan bangunan tidak berhak mengambil kembali bahan-bahan itu.
603. Bila seseorang dengan bahan-bahan bangunan sendiri, mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain, maka pemilik tanah boleh memiliki bangunan itu atau menuntut agar bangunan itu diambilnya.
Bila pemilik tanah menuntut supaya bangunan diambil, maka pembongkaran bangunan berlangsung dengan biaya pemilik bahan, malahan pemilik bahan ini boleh dihukum membayar segala biaya, kerugian dan bunga.
Bila sebaliknya, pemilik tanah hendak memiliki bangunan tersebut, maka ia harus membayar harga bangunan beserta upaya kerja tanpa memperhitungkan kenaikan harga tanah.
604. Bila bangunan itu didirikan oleh pemegang besit yang beritikad baik, maka pemilik tidak boleh menuntut pembongkaran bangunan itu, tetapi ia boleh memilih membayar harga bahan-bahan beserta upah kerja atau membayar sejumlah uang, seimbang dengan kenaikan harga tanah.
605. Tiga pasal yang lalu berlaku juga terhadap penanaman dan penyemaian.
606. Barangsiapa dengan bahan milik orang lain membuat barang dalam jenis baru, menjadi pemilik barang itu, asal harga bahan dibayarnya, dan segala biaya, kerugian dan bunga digantinya bila ada alasan untuk itu.
607. Bila barang baru itu terbentuk bukan karena perbuatan manusia, melainkan karena pengumpulan pelbagai bahan milik beberapa orang secara kebetulan, maka barang baru itu merupakan milik bersama dan orang-orang itu menurut keseimbangan harga bahan-bahan tersebut yang semula dimiliki mereka masing-masing.
608. Bila barang yang baru itu terbentuk dari pelbagai bahan milik beberapa orang karena perbuatan salah seorang dari pemilik-pemilik itu, maka yang tersebut terakhir ini menjadi pemilik, dengan kewajiban membayar harga bahan-bahan kepunyaan orang-orang lain, ditambah dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila ada alasan untuk itu.
609. Dalam hal-hal tersebut dalam kedua pasal yang lalu, bila bahan-bahan itu dapat dipisah-pisahkan dengan mudah, maka masing-masing pemilik boleh meminta kembali bahan kepunyaannya.
610. Hak milk atas suatu barang didapatkan seseorang karena lewat waktu, bila ia telah memegang besit atau barang itu selama waktu yang ditentukan undan-gundang dan sesuai dengan persyaratan dan pembedaan seperti termaksud dalam Bab 7 Buku Keempat kitab undang-undang ini.
611. Cara memperoleh hak milik karena pewarisan menurut perundang-undangan atau menurut surat wasiat, diatur dalam Bab 12 dan Bab 13 buku ini.
612. Penyerahan barang-barang bergerak, kecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci bangunan tempat barang-barang itu berada.
Penyerahan tidak diharuskan, bila barang-barang yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.
613. Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain.
Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.
Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu.
614, 615. Dicabut dengan S.1938 - 276.
616. Penyerahan atau penunjukan barang tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620.
617. Semua akta penjualan, penghibahan, pembagian, pembebanan dan atau pemindahtanganan barang tak bergerak harus dibuat dalam bentuk otentik, atau ancaman kebatalan.
Tiap petikan dalam bentuk biasa dari rol atau daftar kantor lelang, guna pembuktian penjualan barang yang diselenggarakan dengan perantaraan kantor tersebut menurut peraturan yang telah ada atau yang akan diadakan harus dianggap sebagai akta otentik.
618. Semua akta pemisahan harta kekayaan, sepanjang itu mengenai barang tak bergerak, harus diumumkan juga dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 620.
619. Kepada yang memperoleh barang tidak boleh diberikan akta pemindahtanganan atau akta pemisahan tanpa kuasa khusus dari pihak yang memindahtangankan barang atau pihak yang ikut berhak, baik dalam akta sendiri, maupun dalam akta otentik lain yang kemudian dibuat dan yang harus diumumkan, juga pada waktu dan dengan cara seperti yang diatur dalam pengumuman akta pemindahtanganan atau pemisahan tersebut. Tanpa kuasa demikian, penyimpan hipotek harus menolak pengumuman tersebut. Semua pengumuman yang bertentangan dengan ketentuan ini adatah batal, tanpa mengurangi tanggung jawab pegawai yang telah memberikan salinan akta tersebut tanpa kuasa yang diperlukan, dan tanggung jawab penyimpan hipotek yang melakukan pengumuman tanpa kuasa.
620. Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan salinan otentik yang lengkap dari akta tersebut atau surat keputusan Hakim ke kantor penyimpan hipotek di lingkungan tempat barang tak bergerak yang harus diserahkan itu berada, dan dengan mendaftarkan salinan ini dalam daftar yang telah ditentukan.
Bersama dengan itu, orang yang bersangkutan harus menyampaikan juga salinan otentik yang kedua atau petikan dari akta atau keputusan Hakim, agar penyimpan hipotek mencatat di dalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor daftar yang bersangkutan.
621. Setiap pemegang besit suatu barang tak bergerak, dapat minta kepada Pengadilan Negeri tempat barang itu terletak, untuk dinyatakan sebagai miliknya.
Ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang hukum acara perdata mengatur cara mengajukan permintaan demikian.
622. Bila keputusan yang mengabulkan permintaan demikian telah mempunyai kekuatan pasti, maka keputusan itu harus diumumkan oleh atau atas nama pemohon di kantor penyimpan hipotek dengan menyampaikan salinannya dan membukukannya seperti diatur dalam Pasal 620.
623. Bila penyampaiam dan pembukuan telah berlangsung, maka pemegang besit, dalam segala perbuatan yang telah dilakukannya terhadap barang tersebut dengan pihak ketiga, dianggap sebagai pemilik.
624. Hak-hak yang diberikan pemerintah kepada orang-orang khusus atas barang-barang atau tanah negara tidak diubah; hak-hak itu, terutama mengenai besit dan hak milik tetap sedemikian rupa, sebagaimana diatur menurut adat istiadat lama dan kebiasaan menurut ketentuan-ketentuan khusus, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam kitab undang-undang ini tidak mengurangi hak-hak itu pada khususnya atau hubungan antara orang yang menduduki tanah dan pemilik tanah pada umumnya.

Sumber :  http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/perdata/hakmilik.htm

Sistematika Hukum Perdata

Sistematika hukum perdata kita (BW) ada dua pendapat. pendapat yang pertama yaitu , dari pemberlaku undang - undang yaiti :

  • Buku 1   : Berisi mengenai orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
  • Buku II  : Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
  • Buku III : Berisi tentang perikatan. Didalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang orang dan pihak-pihak tertentu.
  • Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluarsa itu.

pendapat yang kedua menurut ilmu hukum / doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :

1. hukum tentang diri seseorang.
Mengatur tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak - hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi tentang kecakapan itu.

2.Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal hubungan - hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaanyaitu :
  • perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perkawinan dan curatele.
2. Hukum Kekayaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiban orang itu dinilaikan dengan uang. Hak - hak kekayaan terbagi lagi atas hak - hak yang berlaku terhadap tiap - tiap orang, oleh karnanya dinamakan hak mutlak dan hak yang berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja karnanya dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat
  • Hak seorang pengarang atas karangannya.
  • Hak seseorang atas ustu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.

3. Hukum Waris
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseoranga jika ia meninggal. Di samping itu hukum waris mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan sesorang.  

Minggu, 17 Juni 2012

Giliran Tari Tor-tor Batak Mau diklaim Malaysia

Malaysia kembali mengklaim hasil kebudayaan asli Indonesia menjadi miliknya. Kali ini, negeri jiran itu akan memasukkan tari Tor-tor dan Gordang Sambilan sebagai peninggalan nasional mereka.

Di Indonesia, dua kesenian itu dikenal sebagai kebudayaan masyarakat Batak, Sumatera Utara. Bahkan, tari Tor-tor selalu ditarikan dalam upacara adat masyarakat Batak.

Namun kini, Malaysia dengan berani akan meregistrasi kebudayaan itu berdasarkan Bab 67 Undang-undang Peninggalan Nasional 2005.

"Pertunjukan periodik harus diadakan. Artinya, tarian harus disajikan sementara irama gendang harus dimainkan di depan publik," kata Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim sebagaimana dikutip laman Bernama.

Menurut Rais, mempromosikan kebudayaan dan seni Mandailing sangat penting, sebab bisa mengungkap asal-usulnya. Selain itu bisa mempererat persatuan dan kesatuan dengan masyarakat lainnya.

Sejalan dengan konsep Malaysia, upaya masyarakat Mandailing untuk mengangkat seni dan budaya mereka telah didukung oleh kementerian untuk diakui dan dikenalkan ke publik Malaysia.
Sebelumnya, Malaysia pernah mengklaim sejumlah kesenian asal Indonesia sebagai milik mereka. Malaysia pernah menampilkan tari Pendet asal Bali dalam video iklan 'Enigmatic Malaysia' di Discovery Channel.
Aksi ini memancing reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu sempat marah atas klaim itu. Budayawan Malaysia juga menyesalkan klaim ini. Namun, Malaysia berkilah iklan pariwisata itu yang membuat bukan negaranya, melainkan pihak Discovery Channel.
Selain tari Pendet, Malaysia juga pernah mengklaim tari Reog asal Ponorogo, Jawa Timur dan sejumlah kebudayaan Indonesia lainnya.

Jumat, 08 Juni 2012

Kebebasan Berpendapat


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG
Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal dalam negara demokratis. Negara atau  pemerintah menciptakan kondisi yang baik dalam memgeluarang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya.
Kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal di dalam negera demokratis. Dalam perkembangannya, prinsip ini mengilhami perkembangan demokrasi di negara-negara yang berkembang. Bahwa pentingnya menciptakan kondisi baik secara langsung maupun melalui kebijakan politik pemerintah/negara yang menjamin hak publik atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu baromoter penegakan demokrasi dalam masyarakat suatu bangsa.
Prinsip ini antara lain; diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sipil Politiknyang mengatur tentang kebebasan berpendapat dan berkespresi. Dalam prakteknya, artikel ini mengatur tentang ‘Kebebasan Fundamental’ yang sifatnya inter-relasi dengan prinsip-prinsip dasar lainnya seperti kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal sesuai dengan pilihannya, kebebasan untuk berpikir dan kesadaran memilih agama dan aliran kepercayaan kebebasan membentuk organisasi atau perkumpulan secara damai dan kebebabsan untuk berasosiasi.
Di Timor Lorosae, prinsip-prinsip tersebut diatas telah ditandatangani atau diratifikasi oleh Pemerintah Republik Demokratic de Timor-Leste (RDTL) pada tanggal 10 Desember 2001 lalu. Untuk memastikan, menjamin dan memberikan maka pemerintah harus: (a) Perlindungan terhadap semua pendapat/opini tanpa batas. Prinsip ini adalah salah satu hak azasi yang mana pemerintah tidak dapat membatasi atau melarangnya. Pendapat/opini tersebut bersifat lisan atau tertulis dengan tidak membatasi hak azasi orang lain yang sama. (b) Memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan dasar untuk berekspresi yang tidak saja mencakup hak untuk memberikan informasi dan ide-ide dalam berbagai jenis. Tetapi juga menyangkut hak atas kebebasan untuk mencari dan menerima (right to seek and reseive) secara langsung atau pun melalui suatu media tertentu. (c) Menekankan secara jelas bahwa dalam menikmati hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat harus secara bersamaan pada tempat dan waktunya diikuti dengan suatu tugas dan tanggungjawab yang penuh.

I.2 TUJUAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk sedikit memberikan penjabaran mengenai kebebasan berpendapat yg di kemukakan oleh pakar-pakar, LSM, media masa dan demo dari sudut pandang penulis dan beberapa nara sumber.

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 ISI
1.      Kebebasan Berpendapat dan Kebebasan Berkeyakinan
Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu bagian dari demokrasi di era reformasi ini bukannya tanpa batas, ia dibatasi selain oleh hak asasi orang lain juga oleh undang-undang. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adail sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kebebebasan dasar untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat tidak dapat didefinisikan atau ditafsirkan oleh seseorang yang dapat menghilangkan atau mengaburkan makna dari semangat pelaksanaannya. Artinya; kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang mengandung unsur-unsur kekerasan adalah pelanggaran terhadap prinsip itu sendiri. Misalnya; kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat melalui aksi membakar rumah, gedung, pusat pembelanjaan, penjarahan, mengancam dengan senjata tajam dan lainnya.
Dari aspek hak azasi, tindakan-tindakan seperti tersebut tergolong tindakan yang melangar hak atas kebebasan dari orang lain. Karena, disamping menganggu ketertiban umum juga membatasi hak atas keamanan orang lain dalam masyarakat. Sedangkan dari aspek hukum, merupakan tindak-pidana yang dapat dituntut pertanggungjawabannya lewat pengadilan.
Untuk memastikan penikmatan hak untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat secara adil, maka setiap warga-negara harus juga diikat dengan kewajiban azasi yakni; konsekwensi dibatasi oleh keinginan yang berhubungan dengan kepentingan orang lain. Karena hak berekspresi dan berpendapat seseorang dibatasi oleh hak orang lain dalam masyarakat sosial. Untuk itu, negara/pemerintah mengatur pembatasan-pembatasan dalam melakukan ekspresi dan mengeluarkan pendapat yang bertujuan untuk melindungi hak-hak tersebut dan reputasi dari hak-hak tersebut satu sama lain, demi keamanan nasional, ketertiban umum (public order), kesehatan masyarakat dan moralitas masyarakat dalam suatu negara.
Kita telah cukup banyak membahas mengenai Kebebasan Berpendapat. Saya kira sudah cukup untuk membahasnya di tulisan ini. Yang patut diberi suatu penjelasan lanjutan adalah Kenyataan dalam  tataran kehidupan yang menganut Kebebasan Berpendapat akhirnya mau tidak mau juga harus menganut Kebebasan Berkeyakinan. Sekali lagi berkeyakinan bukan berperilaku. Kebebasan Berkeyakinan bukan Kebebasan Berperilaku.
Kebebasan Berkeyakinan mengandung arti yang hampir sama dengan Kebebasan Berpendapat. Saya memiliki keyakinan tertentu, Orang lain pun memiliki keyakinan. Keyakinan saya bisa sama dengan keyakinan yang bukan-saya, namun lebih sering keyakinan saya berlainan bahkan mungkin bersebrangan dengan yang bukan-saya. Sebagaimana saya harus menghormati Pendapat yang bukan-saya, saya dengan Menganut Kebebasan Berkeyakinan, juga harus menghormati keyakinan yang bukan-saya.
Kebebasan Berkeyakinan yang memiliki “porsi psikologis” yang lebih besar dibandingkan dengan Kebebasan Berpendapat. Dengan demikian jika Kebebasan Berpendapat atau Beride atau Beropini ini, berbenturan dengan esensi dari Kebebasan Berkeyakinan, maka sudah sepatutnya Kebebasan Berkeyakinan ini dijunjung lebih tinggi.
Maksudnya disini adalah kita boleh saja menghakimi, tidak menyetujui, atau mengatakan bahwa keyakinan yang bukan-kita salah dan tidak benar, namun kebebasan mengatakan pendapat ini hanya dalam ruang lingkup kita sendiri bukan ruang lingkup yang bukan-kita. Alasannya adalah Kebebasan Berkeyakinan menuntut kita tidak bebas untuk mengatakan ketidaksetujuan atas keyakinan mereka (jangan dipermasalahkan kontardiksi dalam kata atau contraditio in terminis ya, karena esensinya bukan itu, baca penjelasan awal mengenai hal ini di paragraf-paragraf sebelumnya). Anda boleh saya mengatakan kepada diri anda sendiri keyakinan anda paling benar dan paling bagus dan menganggap keyakinan yang bukan-anda salah dan semu, tapi itu hanya berlaku pada diri anda sendiri.
Adalah salah secara moral, jika anda kemudian menghujat, menghakimi, menuduh, dan menindas keyakinan yang bukan-anda, yang berbeda dengan anda. Atau bisa juga anda boleh mengatakan kelemahan, kesalahan, dan keburukan keyakinan yang bukan-anda, tetapi anda juga harus menerima jika yang bukan-anda mengatakan kelemahan, kesalahan dan keburukan keyakinan anda. Namun saya tidak menyarankan hal yang demikian. Alasannya secara psikologis manusia, hal tersebut akan membuat “suasana hati” kedua belah pihak menjadi “memanas “ atau “meruncing”. Yang berbeda dalam keyakinan tidak mungkin bisa dikompromikan. Yang terjadi adalah benturan dan kekacauan. Kecuali jika kita memang sudah terbuka dan terbiasa dengan kritik dan argumen, dengan demikian “secara psikologis”, benturan dan kekacauan bisa diminimalisir.
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat umumnya dapat kita lihat dari kebebasan seseorang atau kelompok menulis atau berbicara di media massa dan mengikuti pemilu yang bebas. Sementara dalam Undang-undang No.9 tahun 1998 bentuk-bentuknya adalah melalui kegiatan berdemontrasi, pawai,mimbar bebas,dan rapat umum.
1. Kebebasan seseorang untuk menulis atau mengemukakan pendapat atau opini di media massa (kebebasan pers) merupakan salah satu bentuk kemerdekaan mengemukakan pendapat. Di sana seseorang atau kelompok bebas mengemukakan pendapatnya tentang apa saja yang dialami atau diamatinya. Tentu disertai dengan alasan-alasan pembenarannya. Sebaliknya di sana pula seseorang atau kelompok bebas menolak atau membantah pendapat seseorang atau kelompok lainya. Tentu juga disertai dengan alasannya. Sebagai contoh kita bisa mengemukakan kritik kita atas kebijakan pengurus OSIS yang dirasa kurang baik. Kritik tersebut kita wujudkan dengan bentuk sebuah tulisan di majalah dinding. Di dalam tulisan tersebut, kita bisa mengemukakan berbagai alasan mengapa kita menganggap kebijakan itu kurang baik. Atas kritik tersebut , Pengurus OSIS dapat membuat penjelasannya juga melalui majalah dinding . Di dalam penjelasan tersebut pengurus dapat mengemukakan alasan dibuatnya kebijakan tersebut atau berusaha meyakinkan kita bahwa kebijakan itu baik. Di Indonesia, kebebasan mengeluarkan pendapat melalui media diatur dalam undang-undang No.40 tahun 1999 tentang kebebasan Pers. Di bagian penjelasan undang-undang ini, disebutkan bahwa pembentukan undang-undang ini adalah jaminan agar pers berfungsi secara maksimal. Fungsinya sebagai mesia ekspresi kebebasan mengeluarkan pendapat sebagaimana tertera dalam UUD 1945 pasal 28,sekaligus media kontrol social. Wujud dari kemerdekaan pers ini, antara lain bahwa pers tidak dikenai penyensoran,pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Sementara untuk menjamin hak setiap warga Negara , pers memberikan hak jawab,hak tolak dan hak koreksi dan hak koreksi yang luas pada semua warga Negara. a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya Artinya, kita bisa melakikan sanggahan atau tanggapan berita tentang diri kita di sebuah media massa yang dianggap tidak benar. Sama seperti yang dilakukan pengurus OSIS dalam kasus contoh diatas. b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengkoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers,maupun tentang dirinya ataupun orang lain. c. Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkap nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan.
2. Pemilihan umum (pemilu)merupakan salah satu wujud asas demokrasi dalam bernegara. Dalam pemilu,warga memberikan pendapatnyua untuk memilih para wakil rakyat dan penguasa yang dipercayainya. Kepada para wakil rakyat dan penguasa ini, warga Negara memberikan mandat untuk membuat kebijakan-kebijakan yang terbaik bagi kepentingan mereka. Oleh karena itu, sangat penting bahwa semua pemilu harus berjalan bebas dan bersih. Dengan car ini, para pemimpin yang dihasilkan nantinya merupakan cara pemimpin yang didukung oleh rakyat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang diambilnya pun akan diterima dan didukung oleh rakyat. Di Indonesia,pemilu yang bebas diatur dalam undang-undang No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum.
3. Berdemontrasi juga merupakan bentuk kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Melalui kegiatan ini, seseorang atau kelompok berusaha mengeluarkan pikirannya dengan lisan, tulisan, dan sebagainya di muka umum. Di muka umum, dalam hal ini adalah dihadapan orang banyak atau orang lain termasuk juga ditempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang. Sebagai contoh, demontrasi mahasiswa di gedung MPR pada tahun 1997, demontrasi buruh yang menolak revisi UU tenaga kerja, demontrasi warga Jakarta di Komnas HAM, demontrasi mendukung pemilu yang bersih dan demo mahasiswa dan pelajar buleleng terhadap penetapan UU pornografi di kantor bupati tahun 2009. Dalam demontrasi-demontrasi tersebut, kelompok masyarakat itu melakukan orasi (pidato), menuliskan pernyataan atau kritik-kritik sebagai bentuk ekspresi pendapat mereka kebutuhan dan situasi yang mereka hadapi. Sebagai contoh, demontrasi mahasiswa dan masyarakat yang menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, menentang kebijakan pemerintah tentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Di Indonesia , kemerdekaan mengemukaan pendapat melalui demontrasi ini diatur dalam Undang-Undang no 9 tahun 1998 tantang kemerdekaan mengemukaan pendapat di muka umum.
4. Kemerdekaan mengemukaan pendapat juga dapat du wujudkan dalam bentuk pawai. Dalam kegiatan ini, kelompok masyarakat berusaha menyampaikan pendapatnya dengan melakukan arak-arakan di jalan umum. Contoh pawai untuk mendukung atau menentang UU anti fornografi ataupun pawai yang dilakukan masyarakat untuk mendukung pemerintah yang bersih dari korupsi.
5. Kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga dapat dilakuakn dalam bentuk mimbar bebas. Dalam kesempatan ini, seseorang atau kelompok secara bebas dan terbuka juga berusaha menyampaikan pendapat di muka umum. Umumnya, kegiatan ini dilakukan tidak menggunakan tema tertentu. Artinya para peserta bebas mengemukaan pendapat mereka tentang apa saja yang dilihat, dirasakan atau dialamai.Mimbar bebas biasanya dilakuakan oleh beberapa eleman masayarakat seperti mahasiswa. Biasanya, mereka mengadakan aksi drama singkat (teatrikal) sebagai symbol yang menyiratkan pesan tertentu terhadap suatu isu yang tengah berkembang. Contohnya, ketika pemerintah ingin manaikan harga BBM, sejumlah mahasiswa menyampaikan ketidaksetujuan mereka melalui aksi teater dengan menggunakan symbol-simbol.
6. Kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga ditandai dengan adanya kebebasan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mengadakan rapat umum. Dalam kesempatan ini, kelompok masyarakat berusaha mengekspresikan pendapatnya terhadap suatu tema (masalah) tertentu melalui sebuah pertemuan terbuka. Contonya rapat umum karang teruna-teruni desa bungkulan, rapat dewan guru SMP N 2 Sawan, Rapat Osis dan sebagainya.

UUD YANG MEMBAHAS KEBEBASAN BERPENDAPAT
Pasal 28 F UUD 1945
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Sebagai negara pihak dari Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005, Indonesia terikat pada standar hak asasi manusia yang berlaku secara universal dalam melakukan pembatasan atas penikmatan hak, khususnya terkait dengan hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Komentar Umum No. 10 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diadopsi PBB sejak tahun 1983 dan lebih lanjut diatur melalui Prinsip-prinsip Siracusa yang diadopsi pada tahun 1984.

Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa “setiap orang akan berhak mempunyai dan menyatakan pendapat tanpa diganggu, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui sarana lain menurut pilihannya sendiri

2.      Kebebasan Manusia
Kebebasan Manusia lebih ditentukan pada alasan-alasan praktis atau praksis serta psikologis diri, maupun psikologis sosial. Interaksi-interaksi antara bermacam aspek dalam kehidupan manusia, yang menghasilkan suatu keputusan untuk memberlakukan suatu budaya Kebebasan Berpendapat maupun Kebebasan Berkeyakinan, pada dasarnya bukan tertuju pada logis tidaknya argumen Kebebasan Berpendapat atau Berkeyakinan tersebut. Alasan utama dari kehendak untuk menganut jiwa Kebebasan adalah dari dalam “moralitas” diri manusia.
Kebebasan hadir dari dan atas Nama Manusia. Manusia ingin Beraktualisasi, Manusia ingin Berekspresi. Ketika Keinginan itu ditentang atau dipenjara, maka Gejolak Psikologis untuk tidak menyetujui atau bahkan menentang sikap Pemenjaraan atas Kebebasan Beraktualisasi, Berekspresi, Berkeyakinan ataupun yang lainnya, akan terus digulirkan.
Perbudakan Badaniah atau Fisikal telah berhasil dihapuskan di hampir seluruh dunia manusia (setidaknya dalam hukum positif kemasyarakatan). Kini saatnya Perbudakan Hati dan Pikiran juga ikut dihapuskan.
Paradoks Kebebasan Berekspresi
Ada sejenis paradok atau mungkin sebuah argumen yang melingkar dari suatu proposisi yang menyatakan mengenai kebebesan berekspresi atau kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat mengingat berpendapat itu meliputi seluruh jenis pendapat, maka kebebasan untuk berpendapat bahwa “kebebasan berpendapat tuh harus dihapuskan atau dibungkam” juga termasuk dalam sebuah pendapat itu sendiri (yang berkontradiksi dengan esensi kebebasan berpendapat).
Disini lah letaknya sebuah proposisi contradictif interminis. Saya pernah membahas mengenai proposisi yang kontradiktif ini lewat tulisan di sini. Silahkan buka dan baca apa itu proposisi yang kontradiktif
Paradoks ini juga berlaku dalam banyak bidang “filosofis”, seperti filsafat positivisme logis dengan prinsip verifikasinya. Prinsip verifikasi yang mengatakan bahwa proposisi atau pernyataan itu bermakna jika ia bisa diverifikasi secara sintesis ataupun secara analisis. Prinsip verifikasi sendiri secara paradoks tidak bisa diverifikasi. Sehingga menurut sebagian orang, positivisme logis telah gugur secara filosofis. Padahal kalau menurut saya, hampir seluruh pemahaman logis filsafat pasti mengandung paradoks atau kontradiktif.
Menurut pendapat pribadi saya, Kebebasan berpendapat kalau dibawa kewilayah penyelidikan logis khas filsafat pada akhirnya akan menemukan sebuah celah atau lubang kesalahan yang berupa paradoks, tetapi hal ini tidaklah begitu menggugurkan esensi dari kebebasan berpendapat itu sendiri. Kebebasan berpendapat adalah masuk dalam wilayah praksis kehidupan manusia. Sehingga sebuah celah yang sedemikian kecil bisa diabaikan.
Kehidupan praksis atau praktikal sehari-hari yang berelasi dengan kehidupan sosial dan sejenisnya merupakan wilayah hukum positif bukan wilayah perdebatan filsafat. “Kebenaran” kebebasan berpendapat tidak lagi menjadi urusan “logika” tetapi menjadi wilayah “praksis”. “Kebenaran” atau lebih baik dilabeli “Bekerjanya Kebebasan Berpendapat” merupakan urusan statistikal dan moralitas.
Logika yang bekerja menjadi logika praksis bukan logika analisis filsafat logis. Keberpihakan saya pada “Kebebasan Berpendapat” dibanding “Pembungkaman Ide atau Pikiran atau Pendapat” beranjak dari dalam moralitas saya sendiri. Saya pengen dihargai dalam berpendapat sehingga saya membutuhkan adanya sejenis Kebebasan dalam mengungkapkan pendapat. Saya berfikir banyak orang yang menginginkan hal ini. Inilah yang menjadi postulat pokok atau dasar pokok dan esensi dari “Kebebasan Berpendapat itu sendiri”. Jiwa egaliter juga mengalir di dalamnya.
Sebenarnya Paradoks Pembukaman Ide atau Penolakan Kebebasan Berpendapat jauh lebih banyak secara filosofis dibandingkan dengan Kebebasan Berpendapat. Pembumkaman Ide menghendaki secara logis bahwa segalanya harus dibungkam termasuk Ide atau Pendapat “Pembumkaman Ide” itu sendiri. Contradisi in terminisnya jauh lebih dalam dibanding contradiksi yang ada dalam Kebebasan Berpendapat. Pembumkaman Ide jika dilakukan maka Ide Pembumkaman Ide itu sendiri seharusnya tidak pernah Lahir. Segalanya harus dinihilkan! Jika ada pembatasan atas hak seseorang yang dipilih mana yang berhak dan mana yang tidak untuk berbicara, maka hal ini akan menimbulkan kontradiksi logis yang lebih banyak. Paling jelas muncul dari pertanyaan berikut: Kenapa anda boleh berpendapat sedangkan saya tidak? Kenapa dia boleh sedangkan saya tidak? Prinsip Pembungkaman Anda telah anda negasikan atau hapuskan pendapat anda Sendiri bukan? Jelas-jelas ini bertentangan dengan prinsip anda sendiri? Anda tidak layak berbicara jika anda menganut prinsip ini bukan? Dan sebagainya.
Secara moralitas diri, saya merasa, setiap orang ingin berpendapat, karena ia memiliki mulut, hati dan otak. Moralitas bahwa dirinya harus diam berarti menganggap bahwa orang lain juga harus diam dengan demikian tidak ada yang berpendapat. Ini mustahil bukan?
Bagaimana dengan Pembatasan Ide? Secara filosofis Pembatasan Ide atau Pendapat semakin membingungkan dan mengandung kontradiksi dimana-mana. Siapa yang berhak membatasi Ide? Siapa yang berhak berbicara dan yang tidak? Darimana kriterianya? Siapa yang menentukan kriteria? Jika saya merasa bahwa saya berhak untuk membatasi Ide orang lain, maka seharusnya orang lain berhak membatasi Ide saya. Nah hal ini semakin berkontradiktif. Apalagi kalau diterapkan dalam tataran praksis. Pembatasan Ide, jika itu dijalankan, akan lebih mengarah kepada Pembungkaman Ide atau Pendapat.
Becoming Liberal
Setiap orang berhak memiliki pendapat atau opini. Sekali lagi saya tegaskan: Berhak memiliki opini. Opini tidak berarti berperilaku. Moralitas yang menjadi turunan dari Keberpihakan atau Kebebasan Beropini atau Berpendapat mengandung arti bahwa Jika saya memiliki Kebebasan Berpendapat maka Orang lain pun Memilikinya. Dengan demikian wajib bagi saya untuk menghormati pendapat orang lain seberapapun buruk atau tidak setujunya saya.
Berdiskusi, berdebat, dan bertukar pikiran merupakan turunan lanjutan dari Moralitas Kebebasan Berpendapat. Hanya saja, seperti yang pernah saya tuliskan di tulisan saya mengenai Menjadi Liberal dahulu, ketika saya menemukan bahwa pendapat atau opini yang bersebrangan dengan yang bukan-saya, pada waktu berdiskusi, bedebat atau bertukar pikiran (bukan dalam bentuk fisikal atau kekerasan) sudah tidak menemukan jalan keluar, atau lebih sering secara nyata terlontar ide atau argumen yang sama yang diulang-ulang, maka inilah waktunya untuk mengatakan saya dan yang bukan-saya adalah “Berbeda dalam Berpendapat”. Dengan menjadi liberal saya harus siap mengakui bahwa yang bukan-saya memiliki perbedaan opini atau pendapat, dan yang bukan-saya berhak memegang dan miliki pendapatnya sendiri.
Ada sebuah kejadian sederhana, yang menurut saya unik, yang membuat saya sering tergeli-geli. Seorang yang ingin beragama “yang dianggapnya atau diyakininya” lebih dalam, ia memutuskan untuk menggunakan “kata-kata atau kalimat-kalimat, atau pakaian” yang identik dengan budaya atau bahasa “dimana agama itu berasal secara geografis”. Contoh paling jelas saya sebut saja penggunaan kata: Afwan (dalam sms disingkat Af1), Ukhti, Akhwat, Ikhwan, dan sebagainya. Kalau busana: ya yang bejubah lebar, mengangkat kain celana diatas lutut dan sebangainya.
Dengan menganut atau setidaknya berusaha untuk menghargai mereka, saya sekarang berusaha untuk“tidak pernah” untuk menyarankan mereka mengganti bahasa atau pakaian mereka, atau mengometari perilaku mereka secara langsung. Mereka punya pendapat dan keyakinan yang berbeda. Karena saya juga memiliki pendapat sendiri dan keyakinan sendiri, maka ketika saya membalas sms atau pendapat mereka, saya juga akan menggunakan kata-kata saya sendiri yang berbeda dengan cara mereka. Saya juga mengenakan pakaian yang berbeda dengan mereka. Saya disini berarti telah “menghormati” pendapat mereka.
Sayangnya, penghormatan saya yang demikian, sering kali (terutama jika mereka memiliki power atau kekuasaan), malah mendapat respon yang berkebalikan. Saya disuruh tidak hanya “menghormati mereka” tetapi disuruh “menyamai dan berperilaku” seperti mereka. Sungguh menggelikan sebenarnya. Namun, setelah saya jelaskan biasanya mereka akan mengerti posisi saya. Empati memang perlu dipersuasikan dan disebarkan, termasuk hal-hal yang sepertinya sudah umum dan wajar dimata kita, tetapi menjadi hal yang kurang baik dan jelek dimata mereka. Ah, semoga mereka tidak banyak yang demikian.
BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

Kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum sangat penting sekali di dalam Negara Indonesia karena Negara Indonesia menganut system demokrasi. Dengan adanya kebebasan tetapi kita semua sebagai warga Negara yang baik harus menaati aturan - aturan moral secara umum dan menaati hukum, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperhatikan tata cara dimana unsur kekerasan tidak terdapat di dalamnya. Kebebasan berpendapat di muka umum sering melenceng dari aturan yang sebenarnya, dimana kehendak dari masing-masing individu dikeluarkan dengan sebebas-bebasnya tanpa memperhatikan lagi batasan-batasan yang ada. Maka dari itu kita harus mengetahui sampai mana kita bebas mengeluarkan pendapat sesuai dengan Undang-Undang 1945.

III.2 SARAN

            Dengan adanya kebebasan berpendapat kita sebagai warga Negara yang baik harus menaati norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada di Negara Indonesia, selain itu kita harus sama – sama saling menghormati apabila ada perbedaan pendapat diantara masyarakat. Dengan begitu tidak ada lagi kekerasan yang karena perbedaan pendapat.

III.2 REFERENSI

www.analisadaily.com/.../peranan_dan_tanggung_jawab_pers_nasio

Pribumi Dan Non Pribumi


ISTILAH PRIBUMI DAN NON PRIBUMI
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen atau golongan.
Untuk itu  beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi. Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa. Inilah mengapa,  diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut  dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. 

Siapakah Pribumi dan Non-pribumi :
Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.

Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.

Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.

Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Sebagai contoh, tersebutlah sepasang suami-istri bernama Pak Budi dan Ibu Ina. Mereka berdua adalah warga asli kota Bogor. Namun karena suatu alasan tertentu pindahlah mereka berdua ke kota Milan di Italia. Di sana Ibu Yani melahirkan seorang anak bernama Joko. Joko tumbuh dan besar di Milan. Pada akhirnya Joko menikah dengan seorang perempuan keturunan Indonesia namun lahir di Eropa yang kebetulan berkuliah di Milan, bernamaYanti. Dari pernikahan mereka lahirlah putri mereka Intan, masih di kota yang sama di mana mereka bertemu. Joko dan Yanti membesarkan Intan di Milan, hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk berkunjung ke kota asal orang tua dari Joko yaitu kota Bogor di Jawa Barat. Bersama putri mereka Intan tibalah mereka di kota Bogor. Pertanyaannya adalah, apakah Intan pantas dan layak disebut sebagai warga pribumi di sana? Sedangkan dia dan ayahnya dilahirkan di Milan, Italia, dan mereka pun tidak memiliki sepetak tanah pun di Bogor. Sudah barang tentu masyarakat di kota Bogor akan menganggap Joko dan Intan sebagai pribumi tanpa harus menanyakan di mana mereka lahir, karena itu sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang memiliki ‘wajah pribum
warganegara dalam pasal 26 UUD 1945
SIAPA YANG MENJADI WARGA NEGARA DALAM PASAL 26 UUD 1945
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.